Wednesday, 22 June 2016

DALIL MAKANAN HARAM 2

Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah bersabda:


"Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu'min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman: "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan", 

Dan firmanNya yang lain: "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu". Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi ! Yaa Rabbi ! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do'anya". (HR Muslim no. 1015) 

Makanan HARAM :

1. BANGKAI

Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sbb : 

A. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
B. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik. 
C. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke sumur sehingga mati. 
D. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir). 

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits: 

"Dari Ibnu Umar berkata: "Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa." (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11) 

Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al--Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): "Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" (HR. Daraqutni: 538) 

Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi). 

2. DARAH

Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya: "Atau darah yang mengalir" (QS. Al-An'Am: 145) 

Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24). 

Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih. Semuanya itu hukumnya halal. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama' yang mengharamkannya". (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan). 

3. DAGING BABI

Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur'an, hadits dan ijma' ulama.

4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH

Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya, maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama. 

5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS

Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin. 

Adapun hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar'i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal. 

6. BINATANG BUAS BERTARING

Hal ini berdasarkan hadits:

"Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: "Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan" (HR. Muslim no. 1933) 

Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/118-119) 

Maksudnya "dziinaab" yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan". (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi). 

Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I'lamul Muwaqqi'in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani. 

Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama' pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing, gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang....".

Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi'i berdasarkan hadits:

"Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan? Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507). 

Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta'liqat Ar-Radhiyyah (3-28) 

7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM

Hal ini berdasarkan hadits : 

Dari Ibnu Abbas berkata: 

"Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam" (HR Muslim no. 1934) 

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234):

"Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya". Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: 

"Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam." 

8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK) 

Hal ini berdasarkan hadits: 

"Dari Jabir berkata: "Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda". (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat lain disebutkan begini:

"Pada perang Khaibar, mereka meneyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811). 

Dalam hadits di atas terdapat dua masalah:

Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani). 

Kedua: Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha' bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: "Salafmu biasa memakannya (daging kuda)". Ibnu Juraij berkata: "Apakah sahabat Rasulullah? Jawabnya: Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani). 

9. AL-JALLALAH

Hal ini berdasarkan hadits : 

"Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih). 

"Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya." (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189). 

"Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya. "(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). 

Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manusia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). 

Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: "Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya..." 

Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi'iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-'Ied dari para fuqaha' serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar). 

Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): "Ukuran waktu bolehnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.". Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta'liqat Ar-Radhiyyah (3/32). 

10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA

Berdasarkan hadits: 

"Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma'rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390). 

Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhab baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya, Hadits Abdullah bin Umar secara marfu' (sampai pada nabi)" 

"Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya." (HR Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943) 

11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH 

"Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam. " (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz "kalajengking: gantinya "ular") 

Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): "Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan" (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu' Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi). 

"Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak" (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). 

Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)" "Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya". 

12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH

"Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan: semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad." (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). 

Imam syafi'i dan para sahabatnya mengatakan: "Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya." (Lihat Al-Majmu' (9/23) oleh Nawawi). 

Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). 

"Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa'i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani). 

Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe'i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu' (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma'bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam) 

# BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM #

Sejauh ini BELUM ADA DALIL dari Al Qur'an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya "asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. 

Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam : 

KEPITING - hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha' dan Imam Ahmad. (Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm). KURA-KURA dan PENYU - juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha', Hasan Al-Bashri dan fuqaha' Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84). 

ANJING LAUT - juga HALAL sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe'i, Laits, Syai'bi dan Al-Auza'i (lihat Al-Mughni 13/346). 

KATAK/KODOK - hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapat yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas. 

Semoga bermanfaat.

BINATANG YANG HALAL DAN HARAM

Perbahasan  ini mengandungi beberapa dalil yang digunakan oleh para ulama bagi menyokong pendirian mereka berhubung halal atau haram memakan benda-benda tertentu khususnya yang berkaitan dengan jenis haiwan. Ia hanya disebut secara ringkas dan tidak dibuat nota kaki berhubung sumber-sumber rujukan. Sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama ialah: asal hukum dalam semua perkara -kecuali ibadah yang mempunyai kaedah lain- adalah harus hingga datang dalil yang menunjukkan kepada haram. Ini berdasarkan Kaedah Fiqhiyyah: Perkara yang haram ialah apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya manakala apa yang didiamkan daripadanya adalah suatu yang dimaafkan. Sungguhpun begitu al-Quran telah memberikan panduan tentang makanan yang bagaimanakah yang perlu dan boleh dimakan. i- Firman Allah SWT: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; kerana sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (al-Baqarah:168) ii- Firman Allah SWT: “Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (al-A’raf:157) Al-Quran telah menegaskan bahawa makanan yang dihalalkan oleh Allah ialah yang baik-baik sahaja. Justeru itu makanan yang memudaratkan agama dan kesihatan adalah haram dan termasuk di dalam al-khbai’th. Perkara-perkara yang diharamkan: 1) Bangkai. Ini berdasarkan firman Allah SWT: Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-An’am:145) Termasuk di dalam kategori bangkai ialah haiwan: 1. yang mati tercekik atau dicekik. 2. yang mati kerana dipukul samada dengan kayu atau dihempap dengan sesuatu atau dikejutkan. 3. yang mati kerana terjatuh atau dijatuhkan dari tempat tinggi, termasuk juga yang dicampak ke dalam perigi dan seumpamanya. 4. yang mati kerana ditanduk oleh binatang lain. 5. yang mati kerana dimakan binatang lain, sekalipun anjing pemburu yang terlatih. Dalilnya ialah firman Allah SWT: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging haiwan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” (al-Mai’dah:3) Ayat 3 surah al-Maidah ini mengecualikan mana-mana yang tersebut yang sempat disembelih secara syar’ie selagi ia belum mati. 2) Darah yang mengalir. Dalilnya ialah ayat-ayat di atas. Ibn Abbas r.a telah ditanya tentang limpa, lalu beliau menjawab: “makanlah”, lalu mereka berkata: “ia adalah darah”, jawab beliau: “yang diharamkan kepada kamu hanyalah darah yang mengalir”. 3) Babi. Dalilnya ialah ayat-ayat di atas. Ayat-ayat tersebut hanya menyebut daging, ini menyebabkan segelintir manusia menyangka selain dari daging babi seperti tulang dan lemaknya adalah halal. Sedangkan yang sahih ialah: setiap yang berasal darinya adalah haram dan hanya daging yang disebut kerana kebiasaannya daging itu yang dimakan. 4) Sembelihan untuk selain daripada Allah. Dalilnya ialah ayat-ayat di atas. Maksudnya ialah binatang disebutkan nama selain dari Allah semasa penyembelihan itu. Begitu juga sembelihan yang ditujukan kepada selain daripada Allah, samada disebut namanya atau tidak semasa penyembelihan, bahkan sekalipun dibacakan bismillah. Menurut pengarang Fath al-Majid fi Syarh Kitab al-Tawhid: “Ini kerana sembelihan untuk berhala (an-Nusb) menunjukkan pengagungan untuk taghut sekalipun tidak dilafazkan namanya. Maka ia sama dengan sembelihan yang disebut nama selain Allah. Jika diharamkan kerana disebut: “dengan nama al-Masih” dan sebagainya, maka memaksudnya adalah lebih aula untuk diharamkan. Sebabnya, ibadat kepada selain dari Allah adalah lebih besar kekufurannya berbanding yang memohon kepada selain Allah. Oleh yang demikian, jika haiwan itu disembelih untuk selain dari Allah sebagai ibadah (taqarrub), hukumnya haram sekalipun disebut bismillah. 5) Semua binatang buas yang bertaring (As-Siba'). Kata Ibn al-Athir: “iaitu binatang pemangsa yang memakan secara menerkam seperti: singa, harimau, serigala dan seumpamanya. Sabda Nabi SAW: “Setiap yang memiliki taring dari kalangan pemangsa, maka memakannya adalah haram“. (Riwayat Malik, Muslim dan lain-lain dari hadith Abi Tha’labah al-Khusyani). Al-Syafi’e berpandangan bahawa as-siba’ yang diharamkan ialah yang menyerang manusia seperti singa, harimau dan serigala. Oleh itu dubuk dan musang adalah halal. Abu Hanifah pula berpendapat bahawa karnivor adalah as-sabu’ di antaranya: gajah, dubuk dan kucing. Semuanya haram disisinya. Hujah al-Syafi’e berhubung dengan dubuk: 1. ia tiada taring, sebaliknya semua giginya memang sama tajam. 2. Andai kata diterima bahawa ia memiliki taring, ia bukan dari kategori as-siba’ yang disebut di dalam hadith. Pendapat ini dipersetujui oleh Ibn al-Qayyim. 3. Hadith Jabir. Beliau ditanya tentang dubuk: Adakah dubuk binatang buruan? Jawabnya: ya. Beliau ditanya lagi: adakah ini disabdakan oleh nabi SAW? Jawabnya: ya. (Riwayat Abu Daud, At-Tirmizi dan disahihkannya serta an-Nasa-i dan Ibn Majah. Disahihkan juga oleh al-Hakim). 6) Semua jenis burung berkuku tajam dan menyambar. Dalilnya ialah hadith Ibn Abbas, katanya: “Rasulullah SAW melarang (memakan) setiap yang bertaring dari binatang buas dan setiap yang berkuku (claw) dari burung.” (Riwayat Muslim) Adapun yang dimaksudkan dengan burung yang mempunyai kuku ialah: yang kukunya tajam digunakan untuk menangkap dan melukakan serta mengoyak mangsa. Contohnya: helang, enggang, gagak dan layang-layang. Dikecualikan daripadanya: merpati dan burung-burung kecil; kerana ia termasuk dalam al-mustatob (perkara yang dipandang baik). 7. Keldai dan Himar Pelihraan: Di antara perkara yang diharamkan oleh Nabi SAW dalam peperangan Khaibar ialah keldai peliharaan. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Kata al-’Allamah Siddiq hasan Khan: “Ramai dikalangan umat Arab yang memiliki naluri yang sejahtera mengharamkannya dan dia melihat syaitan.” Sabda Nabi SAW: “Apabila kamu mendengar suara keldai, maka mohonlah perlindungan Allah dari syaitan; sesungguhnya dia melihat syaitan.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Para ulama sepakat tentang halalnya keldai liar -dan kuda belang dan seladang-. Nabi SAW telah dihadiahkan dengan keldai liar lalu baginda memakannya. (Riwayat al-Bukhari dari hadith Abi Qatadah). 8. Al-Jallalah (Binatang yang memakan kotoran). Iaitu binatang yang memakan kotoran dan sesuatu yang menjijikkan. Ibn Hazm menghadkannya hanya kepada yang berkaki empat sedangkan Ibn Hajar menyatakan ianya umum. Dalilnya: i- Hadith Ibn Umar: Rasulullah SAW melarang dari memakan al-jallalah dan meminum susunya. (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah dan at-Tirmizi yang mensahihkannya). ii- Hadith Ibn Abbas: Larangan itu ialah tentang memakan al-jallalah dan meminum susunya. (Riwayat Ahmad, Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasa-i, Ibn Majah, al-Hakim. At-Tirmizi mensahihkannya). Kata al-Hafiz dalam al-Fath: ia adalah yang paling sahih dalam bab ini. Kata al-Albani: zahir hadith memihak kepada Ibn Hazm lantaran disebut tentang susunya. Sungguhpun begitu, para ulama meluaskannya kepada yang lebih umum sebagaimana yang disebut oleh Ibn Hajar. Kata al-Baghawi: “kemudian hukum tentang binatang yang memakan kotoran, hendaklah dilihat: jika ia hanya memakannya kadang-kadang, maka ia bukan al-jallalah; justeru tidak haram dimakan seperti ayam dan sebagainya”. Kata Ibn Hazm: “telah sahih bahawa Abu Musa mengurung ayam (bertujuan membersihkan makanannya), jika didapati memakan kotoran”. Berhubung hal ini para ulama berbeza pendapat: • Ahmad, ath-Thauri dan al-Syafi’iyyah berpendapat memakan al-jallalah adalah haram. Inilah yang ditegaskan oleh Ibn Daqiq al-’Eid. • Sebahagian yang lain menyatakan hukumnya adalah makruh sahaja. Hukum memakan haiwan halal yang memakan bahan dari daging babi. 1. Pendapat Malik dan sebahagian ulama: daging dan telurnya harus dimakan; kerana makanan yang najis itu dapat disucikan dengan istihalah (seperti mengurungnya). 2. Pendapat sebahagian yang lain seperti ath-Thauri, al-Syafi’e dan Ahmad: haram memakan daging, telur dan susunya. 3. Pendapat yang lain: jika kebanyakan makanannya adalah najis, maka dia adalah jallalah dan tidak boleh dimakan. Sebaliknya jika kebanyakan makanannya bukan najis, ia boleh dimakan. • Jawatankuasa Tetap Penyelidikan dan Fatwa Arab Saudi mentarjihkan pendapat yang mendetailkan keadaan. ‘Illah bagi keharaman al-jallalah ialah kenajisan. ‘Illah itulah yang mengubah daging dan susunya dari halal kepada haram. Jadi apabila ‘illat itu hilang dengan cara mengurungnya atau yang seumpama itu, hilanglah hukumnya berdasarkan kaedah: Oleh demikian, tiada lagi ruang untuk mengharamkannya kerana ia adalah halal asalnya dan diharamkan lantaran halangan (najis). Apabila hilang najis, hilang haram. Pendapat inilah yang sahih sepertimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz dalam al-Fath dan al-Albani. Namun tiada satu had yang ditentukan dalam mengurung/membersihkan binatang itu sekalipun memang sahih bahawa Umar mengurung ayam al-jallalah selama 3 hari. Kata Siddiq Hasan Khan: “barangsiapa yang mendakwa bahawa najis itu masih kekal, sedangkan nama dan sifatnya sudah pergi, hendaklah memberikan dalil”. 9) Anjing dan kucing. Hampir tiada khilaf di kalangan ulama tentang pengharaman anjing melainkan satu riwayat pandangan Malik yang menyatakannya sebagai halal. Sungguhpun begitu, sebahagian ulama Malikiyyah (khususnya yang mutaakhkhirin) menyanggahi pandangannya itu. Pengharaman anjing dating dengan beberapa faktor: 1. ia adalah najis menurut jumhur ulama; lantaran arahan nabi SAW supaya bekas yang dijilat oleh anjing hendaklah dibasuh 7 kali yang pertama dengan air tanah. (Riwayat Muslim). 2. ia termasuk di dalam al-mustakhbath (yang dipandang jijik); ia memakan kotoran. 3. larangan nabi SAW daripada memakan harga anjing dan kucing. (Riwayat as-sahih). Dalil keharaman kucing pula disebut di dalam hadith Jabir: “Bahawasanya nabi SAW telah melarang dari memakan kucing dan harganya.” (Riwayat Abu Daud, at-Tirmizi dan Ibn Majah, dalam isnad hadith ini Muhammad Bin Zaid – dhaif). Sungguhpun begitu, ia dikuatkan dengan dalil yang sama tentang keharaman anjing di atas. Menurut ulama, tiada beza hukum di antara kucing liar ataupun jinak, melainkan salah satu pandangan al-Syafi’yyah yang menyatakan halal kucing liar. 10) Semua jenis binatang yang menjijikkan. Firman Allah SWT: ” dan Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (al-A’raf:157) Kebanyakan ulama memberikan garis panduan dalam hal ini seperi berikut: 1. Apa yang dipandang jijik dan kotor oleh manusia (yang murni fitrahnya) dari jenis haiwan – bukan kerana sesuatu ‘illah atau kerana tidak biasa – sebaliknya semata-mata kerana menganggapnya jijik, maka ia adalah haram. 2. Apabila sebahagian manusia menganggapnya jijik sedangkan yang tidak, maka yang diambil kira ialah tanggap majoriti. Sungguhpun begitu, al-Albani mempersoalkan tentang kesukaran menetukan yang manakah padangan teramai dan ia juga membabitkan soal budaya dan seumpamanya. Oleh itu menurutnya, yang paling tepat ialah: setiap yang jijik di sisi syara’ itu tentulah akan memudaratkan diri dan agama manusia. Kebanyakan haiwan yang tidak dimakan oleh manusia sedangkan tiada dalil yang jelas menunjukkan ia haram, merupakan haiwan dari kategori ini. 11) Semua binatang yang diarahkan untuk dibunuh atau dilarang dari dibunuh. Sebilangan ulama berpendapat bahawa binatang-binatang yang dilarang oleh nabi SAW dari membunuhnya atau yang diarahkan untuk membunuhnya adalah haram. Binatang yang diarahkan bunuh: Sabda nabi SAW: “Dari ‘Aisyah bahawa rasul SAW bersabda: 5 jenis binatang semuanya fawasiq boleh dibunuh di Tanah Haram: burung gagak, burung layang-layang, kala jengking, tikus, anjing dan al-’aqur (sejenis binatang yang menggigit).” (Riwayat al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan an-Nasai). Binatang yang dilarang bunuh: Sabda nabi SAW: Dari Ibn Abbas bahawa nabi SAW telah melarang daripada membunuh 4 jenis binatang: semut, lebah, belatuk dan nuri. 12) Binatang beracun samada yang ikan atau selainnya, diburu atau dijumpai mati. Ini adalah jelas kerana Islam melarang al-khabai’th. Juga dengan umum ayat: ” Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah:195) 13) Haiwan Hidup 2 alam: Kata al-Qadi Ibn al-’Arabi: Pendapat yang sahih berhubung haiwan yang hidup di darat dan air ialah dilarang; kerana terdapat percanggahan dalil halal dan haram. Lalu kami memenangkan dalil haram sebagai langkah berhati-hati (ihtiyat). Sementara sebilangan ulama pula berpandangan bahawa semua haiwan yang memang hidup di laut adalah halal sekalipun ia mungkin boleh hidup di daratan kecuali katak kerana ada dalil lain berhubungnya. 14) Binatang tiada status: Iaitu binatang yang tidak disebutkan statusnya, samada halal atau haram: Berdasarkan sabda nabi SAW: “Apa yang Allah halalkan di dalam kitab-Nya, maka ia halal. Apa yang Allah haramkan, maka ia haram. Apa yang Allah diamkan tentangnya, maka ia adalah dimaafkan.” (Riwayat al-Bazzar dan katanya: sanadnya sahih, juga disahihkan oleh al-Hakim). Contoh-contoh binatang yang diperselisihkan hukumnya: a) landak: - yang mengharamkannya: Abu Hanifah dan Ahmad - yang menghalalkannya: Malik dan Syafi’e Dalil yang mengharamkannya, ialah hadith dari Ibn Umar dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud. Namun isnadnya dhaif. Oleh itu yang rajih ialah: halal. b) katak: - yang menghalalkannya: Malik Dalilnya: i- Umum ayat Allah: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (al-Maidah:96) ii- Umum hadith tentang air dan bangkai haiwan di lautan. Dia (laut) suci airnya dan halal bangkainya. (Riwayat Malik, al-Syafi’e dan imam yang empat). Kedua-dua dalil ini umum tentang hidupan / haiwan di laut (air), lalu ia mencakupi katak; kerana katak termasuk dalam kategori soidul bahr. - yang mengharamkannya: Ahmad Dalilnya: Hadith Abd. Rahman Bin ‘Uthman tentang seorang doctor bertanya kepada nabi SAW tentang hukum menjadikan katak sebagai ubat (untuk dimakan), lalu nabi SAW melarang dari membunuhnya. (Riwayat disahihkan oleh al-Hakim. Dalam sanadnya ada Sa’id Bin Khalid al-Qurtubi: didhaifkan oleh an-Nasai tetapi dithiqahkan oleh Ibn Hibban serta kata ad-Daraqutni: dia Madaniyy yang boleh dibuat hujah dengannya). Justeru itu, jika nabi melarang dari dibunuh katak sedangkan tujuannya adalah untuk suatu yang penting seperti dijadikan ubat, tentulah ia tidak boleh dimakan sebarangan. Larangan makannya pula tentulah kerana ia memang haram dimakan. Ini kerana nabi SAW jika melarang dari membunuh sesuatu haiwan, maka ia mungkin kerana kehormatannya seperti manusia atau kerana haram dimakan seperti katak. Asy-Syawkani pula seakan-akan tidak bersetuju dengan kaedah binatang yang dilarang bunuh bererti haram dimakan; lantaran baginya ia tidak jelas. Namun yang rajih ialah: katak haram dimakan. c) buaya: • yang menghalalkannya: Malik, sebahagian dari Syafi’e dan sebahagian yang lain. Ini kerana ia termasuk di dalam soidul bahr. Oleh itu tentulah ia terkandung di dalam ayat surah al-Maidah:96 tersebut. • yang mengharamkannya: Abu Hanifah dan sebahagian lain. Ini kerana ia termasuk di dalam binatang buas, lalu termasuk di dalam kategori bintang buas bertaring. Kata Ibn Baz: masalah ini adalah ijtihadiyyah dan perbahasannya luas, namun yang lebih ahwat (berhati-hati) ialah meninggalkan daripada memakannya; mengambil kira khilaf yang wujud di samping langkah berjaga-jaga mengelakkan larangan. Menurut pandangan yang sahih bahawa adalah haram memakannya, kerana ia juga duduk didarat dan mempunyai taring, walaupun ia menghabiskan masa yang lama didalam air, akan tetapi sebab yang awal tadi mendahului hukum (binatang darat yang bertaring). Ensaiklopedia Fiqh Kuwait mengatakan bahawa buaya diharamkan oleh Mazhab Syafie dan Hanbali : وللاستخباث في التمساح ; ولأنه يتقوى بنابه ويأكل الناس . “Kerana kotornya buaya dan sesungguhnya ia kuat pada taringnya dan buaya memakan orang” Sudah tentu telur buaya juga haram dimakan. d. Penyu – Binatang yang memang tinggal di laut dan juga yang tinggal di darat, tiada khilaf dikalangan ulama’. Akan tetapi, binatang yang hidup didalam dua alam, wujudnya khilaf dikalangan ulama’, ternasuklah penyu. Berkata Dr Abdullah Faqih :- أجاز العلماء أكل السلحفاة لعموم قوله تعالى : (كلوا مما في الأرض حلالاً طيباً ) وقوله أيضا (وقد فصل لكم ما حرم عليكم ) وقالوا عن تذكية السلحفاة: ما يعيش في البر يذكي بلا خلاف في ذلك ، وما يعيش في البر والبحر ككلب الماء والسلحفاة فاختلفوا فيه بين من قال بالتذكية، ومن لم يقل بها ، والأولى التذكية خروجا من الخلاف . “Ulama; membenarkan memakan penyu atas umum perintah Allah swt :- (Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik 2:168) dan juga firmannya (padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa yang diharamkanNya atas kamu 6:119) dan mereka bercakap mengenai rekomendasi penyu : apa yang hidup di darat, tidak ada perselisihan mengenainya, dan apa di bumi dan laut seperti anjing air dan penyu tersedapat khilaf di kalangan mereka, mereka yang rekomen berkata : sesiapa yang tidak mempercayainya, dicadangkan mula2 sekali keluar dari perselisihan” Ibn Qudamah rh. didalam al-Mughni mengatakan bahawa penyu boleh dimakan sekiranya disembelih. Katanya : كل ما يعيش في البر من دواب البحر , لا يحل بغير ذكاة , كطير الماء , والسلحفاة , وكلب الماء , إلا ما لا دم فيه , كالسرطان , فإنه يباح بغير ذكاة . “Semua yang hidup didarat dari kalangan binatang laut, tidak halal tanpa disembelih, sebagaimana burung laut, penyu, anjing laut, melainkan ia tidak berdarah seperti ketam dihalalkan tanpa sembelih” Jumhur mengharamkan binatang yang hidup dua alam. Walau bagaimanapun kalangan ulama’ yang berpegang kepada pandangan ini membenarkan memakan telur penyu, telur kura-kura, telur tuntun juga telur labi-labi. Tetapi mereka sepakat mengharamkan memakan telur ular kerana sifatnya beracun. e) dubuk dan musang: Telah dibincangkan sebelum ini. Dubuk dan Musang tidak termasuk dalam katagori as-Siba’ (makan menggunakan taring). Imam as-Syafi’e berpandangan bahawa as-siba’ yang diharamkan ialah yang menyerang manusia seperti singa, harimau dan serigala dengan taringnya. Oleh itu dubuk dan musang adalah halal. Abu Hanifah pula berpendapat bahawa karnivor adalah as-sabu’ di antaranya: gajah, dubuk dan kucing. Semuanya haram disisinya. Hujah al-Syafi’e berhubung dengan dubuk: 4. Ia tiada taring, sebaliknya semua giginya memang sama tajam. 5. Andai kata diterima bahawa ia memiliki taring, ia bukan dari kategori as-siba’ yang disebut di dalam hadith. Pendapat ini dipersetujui oleh Ibn al-Qayyim. 6. Hadith Jabir. Beliau ditanya tentang dubuk: Adakah dubuk binatang buruan? Jawabnya: ya. Beliau ditanya lagi: adakah ini disabdakan oleh nabi SAW? Jawabnya: ya. (Riwayat Abu Daud, At-Tirmizi dan disahihkannya serta an-Nasa-i dan Ibn Majah. Disahihkan juga oleh al-Hakim). f) Siput Babi: Siput babi atau dalam Bahasa Arab disebut Halazun, diperselisihkan ulama tentang hukumnya. Imam Malik dan fuqaha Malikiyyah berpendapat bahawa halazun barriy (siput babi) halal dimakan. (Al-Mudawwanah 1/542). Manakala sebahagian ulama berpendapat: Ia haram dimakan. ِAntaranya Ibn Hazm dalam Muhalla (7/405). Di Morocco (Maghribi) sibut babi adaah halal dan dijadikan sajian biasa untuk dimakan dikebanyakan restoran. Ini kerana kebanyakkan mereka bermazhab Maliki. Siput Babi Morocco (Maghribi) Yang Dihalalkan Siput Gondang Malaysia Siput Babi Malaysia Siput Marghibi Mungkin Siput babi Di Maghribi tidak sama dengan Siput Babi di Malaysia tetapi agak menyerupai Siput Gondang di Malaysia yang dihalalkan oleh kebanyakan Ulamak. Masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah. Bagi yang mengharuskannya, mereka berpegang kepada asal hukum semua makanan adalah halal sehingga ada nas yang mengharamkannya. Manakala yang mengharamkannya berpendapat ia bukan haiwan yang disembelih, kerana tiada leher. Maka jika ia mati, ia adalah bangkai. Tetapi ikan, belalang, udang, ketam dan siput-siput lain juga tidak disembelih. Ianya halal pada pandangan Mazhab Syafi’e. Bagaimanapun, pendapat yang lebih ihtiyat (berjaga-jaga) ialah pendapat yang mengharamkannya. Wallahu A’lam. al-ahkam. Secara keseluruhannya binatang yang haram dimakan adalah: 1. Yang jelas pengharamannya di dalam al-Qur'an atau al-Hadits. 2. Yang Beracun 3. Yang berupa buruk dan comel 4. Yang memakan manusia 5. Yang makan menggunakan kuku dan taring 6. Yang Menerkam mangsa dengan keras dan ganas 7. Yang khilaf tentang adanya 8. Yang hidup dua alam Imam Syafi'e mengklasifikasikan keharaman haiwan atau binatang di antaranya; 1. Yang makan sambil melayang 2. Yang bersarang dalam lubang tanah 3. Yang Hidup dua alam 4. Yang Buruk wajahnya 5. Yang Cantik wajahnya 6. Yang memakan makanan bangkai Penutup: Ini adalah yang dapat diusahakan berhubung persoalan halal dan haramnya binatang-binatang yang mempunyai berbagai-bagai spesis. Pendetailan tajuk boleh dirujuk di dalam kitab-kitab tafsir dan hadith ahkam serta buku-buku Fiqh. Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Pinterest 

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Sunday, 5 June 2016

Tidak Membatalkan Puasa Dlm Perubatan

1. Ubat titik mata dan telinga, cuci telinga (earwash).

2. Ubat GTN yang diletakkan di bawah lidah dengan syarat ia tidak ditelan.

3. Memasukkan pessary, ovules kedalam kemaluan wanita (vagina), cuci vagina, memasukkan alatspeculum kedalam vagina; atau memasukkan jari (oleh doktor/bidan) untuk pemeriksaan (contoh periksa jalan untuk bersalin).

4. Memasukkan alat urethroscope ataupun ubatan melalui saluran kencing ataupun irigasi pundi kencing.

5. Menggerudi, mencabut, mencuci gigi, menggunakan miswak (kayu sugi); dengan syarat ia tidak ditelan.

6. Injeksi (cucuk) melalui kulit ke dalam otot (intramuscular), sendi (intraarticular), ke dalam pembuluh darah (intravenous) kecuali jika bahan yang dicucuk itu mempunyai zat.

7. Menderma atau menerima darah.

8. Menerima oksigen atau gas untuk bius.

9. Menerima semua bahan yang diserap ke dalam badan melalui kulit seperti krim sapuan, minyak dan sebagainya.

10. Mengambil darah untuk pemeriksaan.

11. Memasukkan tiub (catheter) untuk pemeriksaan.

12. Memasukkan tiub melalui mulut atau dubur (Endoscopy) untuk pemeriksaan (diagnostic) atau rawatan (intervention).

13. Mencuci mulut, kumur-kumur, spray mulut; dengan syarat ia tidak ditelan.

14. Pemeriksaan dalam rahim (Hysteroscopy) atau memasukkan alat dalam rahim (intrauterine device).

15. Mengambil sel dari hati atau organ lain (Biopsy).

16. Menggunakan ubat titik hidung, spray hidung atau inhaler (untuk asthma).

17. Injeksi pada dubur, pemeriksaan dubur (anoscopes) ataupun pemeriksaan dubur menggunakan jari.

18. Pembedahan yang memerlukan bius penuh (general anaesthesia); jika pesakit mahu berpuasa.

19. Haemodialisis atau peritoneal dialysis. – MYNNEWSHUB.CC